Sabtu, 11 Desember 2010

Inilah Derita Warga Kristen Irak

Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja

saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak

pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu,

ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia

tidak juga ke gereja.

Pada hari itu, kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation

Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera, lalu menewaskan

51 umat dan dua imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak

berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru

yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang

pastor Katolik berusia 27 tahun, tidak.

Butros, Kamis (9/12), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang

ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan itu, masa berkabung

yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.

Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan

menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang,

katanya, sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa

berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini.

Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di

tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut

untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang

tewas dan terluka dalam serangan itu.

Keamanan sangat ketat di tempat itu, Kamis, yang diserbu para

penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera umat yang

hadir selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah

pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk

menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang

hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh

banyak orang Kristen.

Jendela-jendela, yang hancur karena tiga pengeboman bunuh diri

meledakkan rompi mereka saat dikepung pasukan keamanan, tetap rusak.

Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja yang hangus itu.

Bercak darah juga masih menodai langit-langit.

Sebuah poster besar berisi foto-foto para korban tergantung di luar.

Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocah berusia

tiga tahun ada di antara mereka.

Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman

saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya.

Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi.

Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia

menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.

Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya

yang masih hidup. "Putri saya menolak masuk perguruan tinggi. Dia takut

terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami

tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak,"

katanya.

Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak

pengepungan dan serangkaian pemboman dan pembunuhan yang terjadi,

yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, tetapi juga di

rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh

pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu

merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom

meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.

Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi targetkan

dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak

orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir

orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat

menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Kemana

kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60

tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini

keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan

tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis.(kompas).

Tidak ada komentar: