Sabtu, 11 Desember 2010

Dampak Perubahan Iklim terhadap Sejarah peradaban Manusia

Di satu sisi, gunung dan bongkahan es yang mencair barangkali akan

membantu menyingkap rahasia purbakala yang masih ”membeku”. Namun,

di sisi lain, suhu yang memanas juga perlahan tetapi pasti merusak situs

peninggalan purbakala. Banjir, angin topan, dan permukaan laut yang naik

adalah sedikit dari banyak ancaman pada peninggalan purbakala.

Para petinggi peserta Pertemuan PBB tentang Perubahan Iklim di Cancun,

Meksiko, boleh saja berdebat sengit mengenai pengurangan emisi, tetapi

jangan terlalu lama karena perubahan iklim tidak hanya mengancam kita,

tetapi juga situs-situs peninggalan purbakala yang tak ternilai. Jika kita

tidak bertindak cepat, tinggal tunggu waktu segala macam peninggalan

purbakala akan hancur oleh es yang mencair, proses penggurunan,

permukaan paras muka air laut yang naik, atau angin topan yang kian

ganas dan semakin sering terjadi.

Kalangan arkeolog, Rabu (8/12), mengingatkan, perubahan iklim akan

menghancurkan segala macam peninggalan berharga kita pada masa lalu.

Henri-Paul Francfort dari National Center for Scientific Research

Perancis (CNRS) mengatakan, es yang mencair memang bisa menyingkap

sedikit demi sedikit sejarah masa lalu, seperti ketika manusia purba

”Oetzi” ditemukan pada 1991. Selama ribuan tahun jasad Oetzi utuh

karena membeku di dalam gletser Pegunungan Alpen.

Lapisan permafrost (lapisan bumi yang membeku permanen) yang selama

ini melindungi peninggalan purbakala mulai mencair. Padahal, dalam

bongkahan es masih banyak tersimpan mumi, kuda, bulu, baju, dan barang

lain dari kayu.

”Banyak daratan yang mencair setiap tahun. Kalau tidak segera

bertindak, akan terlambat,” kata Francfort yang memimpin tim arkeolog

Perancis di Asia Tengah dan menggali makam- makam suku Scythia dalam

es di Pegunungan Altai di Siberia.

Jasad Oetzi pada akhirnya bisa ditemukan juga karena gletser di Tyrol,

Italia, menyusut dengan amat cepat. Gletser yang mencair terutama di

Norwegia kini, kata Francfort, juga kian sering mengangkat penemuan

purbakala ke permukaan.

Ancaman

Pada masa mendatang, pasti akan lebih banyak penemuan purbakala yang

tiba-tiba ditemukan karena permukaan paras muka air laut diperkirakan

akan naik hingga 1 meter pada 2100. Jika ini terjadi, sudah pasti puluhan

situs purbakala akan tenggelam, apalagi situs yang berada di kawasan

pantai, seperti di Kepulauan Pasifik.

Di Tanzania saja, misalnya, dinding Benteng Kilwa yang dibangun Portugis

pada 1505 bisa hancur akibat erosi. Belum lagi reruntuhan Kota Panam di

Sonargaon, Banglades.

Panam, yang dulu menjadi pusat keramaian di jantung Kerajaan Bengal

(abad ke-15 hingga ke-19), kerap diterjang banjir. Karena kondisi itu,

Panam masuk daftar UNESCO ”100 situs terancam punah akibat

perubahan iklim”.

Bukan Panam saja yang rutin kebanjiran. Kondisi Chan Chan, bekas ibu

kota peradaban Chimu di Peru dan pernah menjadi kota terbesar di

Amerika Latin, juga memprihatinkan karena sering diterjang banjir

bandang akibat El Nino.

Ahli purbakala Amerika di CNRS, Dominique Michelet, juga mengingatkan

untuk mewaspadai angin topan. Kuil Tabasqueno milik suku maya di

Meksiko harus direnovasi, bahkan beberapa bagian harus direkonstruksi

karena rusak parah setelah diterjang topan Tornado Opalo dan Roxana

pada 1995.

Pasir juga bisa menjadi ancaman mengerikan, bahkan musuh paling jahat

bagi peninggalan purbakala, seperti terjadi pada bukit-bukit pasir di

Sudan yang menutup piramida-piramida Kerajaan Meroe yang berjaya

pada abad ketiga sebelum Masehi hingga abad keempat Masehi.

”Topan Gonu un dan Phet yang terjadi di Oman pada 2007 dan 2009

mengubur situs peninggalan purbakala yang ada di gurun pasir,” kata

Vincent Charpentier dari pusat penelitian purbakala INRAP.

Situs peninggalan purbakala jelas kian terancam. Sayangnya, meski sadar

akan hal itu, UNESCO belum serius mengidentifikasi situs-situs yang

terancam. ”Situs purbakala ini bagian dari ingatan jejak sejarah

peradaban manusia,” kata Francfort.

Pihak UNESCO dan masyarakat dunia, saran Francfort, harus bergerak

cepat dan mencari solusi-solusi radikal untuk melindungi peninggalan

purbakala. Barangkali perlu dicontoh upaya penyelamatan kuil batu Abu

Simbel di Mesir. Dengan segenap bantuan dari komunitas internasional,

pada 1960-an seluruh isi kompleks kuil batu itu dipindah agar tidak

terendam akibat pembangunan bendungan di Sungai Nil.

Antropolog dari University of Northern Colorado, Michael Kimball,

mengingatkan, bagi masyarakat, situs-situs purbakala bisa menjadi

penanda identitas lokal, kebanggaan, bahkan pendapatan.

Kimball mengakui, kalangan ahli purbakala memang tidak akan bisa

menghentikan pemanasan global. Namun, mereka bisa memprioritaskan

penyelamatan situs purbakala. Caranya dengan mendokumentasikan

situs-situs purbakala sebelum semuanya musnah.(kompas).

Tidak ada komentar: