Di satu sisi, gunung dan bongkahan es yang mencair barangkali akan
membantu menyingkap rahasia purbakala yang masih ”membeku”. Namun,
di sisi lain, suhu yang memanas juga perlahan tetapi pasti merusak situs
peninggalan purbakala. Banjir, angin topan, dan permukaan laut yang naik
adalah sedikit dari banyak ancaman pada peninggalan purbakala.
Para petinggi peserta Pertemuan PBB tentang Perubahan Iklim di Cancun,
Meksiko, boleh saja berdebat sengit mengenai pengurangan emisi, tetapi
jangan terlalu lama karena perubahan iklim tidak hanya mengancam kita,
tetapi juga situs-situs peninggalan purbakala yang tak ternilai. Jika kita
tidak bertindak cepat, tinggal tunggu waktu segala macam peninggalan
purbakala akan hancur oleh es yang mencair, proses penggurunan,
permukaan paras muka air laut yang naik, atau angin topan yang kian
ganas dan semakin sering terjadi.
Kalangan arkeolog, Rabu (8/12), mengingatkan, perubahan iklim akan
menghancurkan segala macam peninggalan berharga kita pada masa lalu.
Henri-Paul Francfort dari National Center for Scientific Research
Perancis (CNRS) mengatakan, es yang mencair memang bisa menyingkap
sedikit demi sedikit sejarah masa lalu, seperti ketika manusia purba
”Oetzi” ditemukan pada 1991. Selama ribuan tahun jasad Oetzi utuh
karena membeku di dalam gletser Pegunungan Alpen.
Lapisan permafrost (lapisan bumi yang membeku permanen) yang selama
ini melindungi peninggalan purbakala mulai mencair. Padahal, dalam
bongkahan es masih banyak tersimpan mumi, kuda, bulu, baju, dan barang
lain dari kayu.
”Banyak daratan yang mencair setiap tahun. Kalau tidak segera
bertindak, akan terlambat,” kata Francfort yang memimpin tim arkeolog
Perancis di Asia Tengah dan menggali makam- makam suku Scythia dalam
es di Pegunungan Altai di Siberia.
Jasad Oetzi pada akhirnya bisa ditemukan juga karena gletser di Tyrol,
Italia, menyusut dengan amat cepat. Gletser yang mencair terutama di
Norwegia kini, kata Francfort, juga kian sering mengangkat penemuan
purbakala ke permukaan.
Ancaman
Pada masa mendatang, pasti akan lebih banyak penemuan purbakala yang
tiba-tiba ditemukan karena permukaan paras muka air laut diperkirakan
akan naik hingga 1 meter pada 2100. Jika ini terjadi, sudah pasti puluhan
situs purbakala akan tenggelam, apalagi situs yang berada di kawasan
pantai, seperti di Kepulauan Pasifik.
Di Tanzania saja, misalnya, dinding Benteng Kilwa yang dibangun Portugis
pada 1505 bisa hancur akibat erosi. Belum lagi reruntuhan Kota Panam di
Sonargaon, Banglades.
Panam, yang dulu menjadi pusat keramaian di jantung Kerajaan Bengal
(abad ke-15 hingga ke-19), kerap diterjang banjir. Karena kondisi itu,
Panam masuk daftar UNESCO ”100 situs terancam punah akibat
perubahan iklim”.
Bukan Panam saja yang rutin kebanjiran. Kondisi Chan Chan, bekas ibu
kota peradaban Chimu di Peru dan pernah menjadi kota terbesar di
Amerika Latin, juga memprihatinkan karena sering diterjang banjir
bandang akibat El Nino.
Ahli purbakala Amerika di CNRS, Dominique Michelet, juga mengingatkan
untuk mewaspadai angin topan. Kuil Tabasqueno milik suku maya di
Meksiko harus direnovasi, bahkan beberapa bagian harus direkonstruksi
karena rusak parah setelah diterjang topan Tornado Opalo dan Roxana
pada 1995.
Pasir juga bisa menjadi ancaman mengerikan, bahkan musuh paling jahat
bagi peninggalan purbakala, seperti terjadi pada bukit-bukit pasir di
Sudan yang menutup piramida-piramida Kerajaan Meroe yang berjaya
pada abad ketiga sebelum Masehi hingga abad keempat Masehi.
”Topan Gonu un dan Phet yang terjadi di Oman pada 2007 dan 2009
mengubur situs peninggalan purbakala yang ada di gurun pasir,” kata
Vincent Charpentier dari pusat penelitian purbakala INRAP.
Situs peninggalan purbakala jelas kian terancam. Sayangnya, meski sadar
akan hal itu, UNESCO belum serius mengidentifikasi situs-situs yang
terancam. ”Situs purbakala ini bagian dari ingatan jejak sejarah
peradaban manusia,” kata Francfort.
Pihak UNESCO dan masyarakat dunia, saran Francfort, harus bergerak
cepat dan mencari solusi-solusi radikal untuk melindungi peninggalan
purbakala. Barangkali perlu dicontoh upaya penyelamatan kuil batu Abu
Simbel di Mesir. Dengan segenap bantuan dari komunitas internasional,
pada 1960-an seluruh isi kompleks kuil batu itu dipindah agar tidak
terendam akibat pembangunan bendungan di Sungai Nil.
Antropolog dari University of Northern Colorado, Michael Kimball,
mengingatkan, bagi masyarakat, situs-situs purbakala bisa menjadi
penanda identitas lokal, kebanggaan, bahkan pendapatan.
Kimball mengakui, kalangan ahli purbakala memang tidak akan bisa
menghentikan pemanasan global. Namun, mereka bisa memprioritaskan
penyelamatan situs purbakala. Caranya dengan mendokumentasikan
situs-situs purbakala sebelum semuanya musnah.(kompas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar