Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja
saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak
pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu,
ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia
tidak juga ke gereja.
Pada hari itu, kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation
Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera, lalu menewaskan
51 umat dan dua imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak
berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru
yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang
pastor Katolik berusia 27 tahun, tidak.
Butros, Kamis (9/12), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang
ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan itu, masa berkabung
yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.
Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan
menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang,
katanya, sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa
berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini.
Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di
tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut
untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang
tewas dan terluka dalam serangan itu.
Keamanan sangat ketat di tempat itu, Kamis, yang diserbu para
penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera umat yang
hadir selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah
pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk
menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang
hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh
banyak orang Kristen.
Jendela-jendela, yang hancur karena tiga pengeboman bunuh diri
meledakkan rompi mereka saat dikepung pasukan keamanan, tetap rusak.
Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja yang hangus itu.
Bercak darah juga masih menodai langit-langit.
Sebuah poster besar berisi foto-foto para korban tergantung di luar.
Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocah berusia
tiga tahun ada di antara mereka.
Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman
saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya.
Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi.
Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia
menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.
Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya
yang masih hidup. "Putri saya menolak masuk perguruan tinggi. Dia takut
terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami
tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak,"
katanya.
Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak
pengepungan dan serangkaian pemboman dan pembunuhan yang terjadi,
yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, tetapi juga di
rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh
pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu
merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom
meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.
Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi targetkan
dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak
orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir
orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat
menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Kemana
kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60
tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini
keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan
tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis.(kompas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar